PENGERTIAN ORANG TUA

Orang tua adalah adalah orang-orang yang melengkapi budaya mempunyai tugas untuk mendefinisikan apa yang baik dan apa yang dinggap buruk. Sehingga anak akan merasa baik bila tingkah lakunya sesuai dengan norma tingkah laku yang diterima di masyarakat.
Pemahaman orang tua yang baik menurut Soekanto (1991) dengan beberapa yang mencirikannya seperti berikut::

1. melakukan berbagai hal untuk anak
2. merupakan tempat bergantung bagi anak
3. bersikap cukup permisif dan luwes
4. bersikap adil dan disiplin
5. menghargai anak tunagrahita sebagai individu
6. mampu menciptakan kehangatan bagi anak
7. mampu memberi contoh yang baik
8. bias menjadi kawan dan menemani anak tunagrahita dalam berbagai kegiatan
9. selalu bersikap baik
10. menunjukkan rasa kasih sayang pada anak
11. memiliki rasa empati terhadap perasaan anak
12. mendorong anak tunagrahita untuk bermain dengan temannya
13. berusaha membuat suasana damai
14. membantu kemandirian anak tunarungu
Sebaliknya tentang pandangan orang tua yang buruk menurut anak masih dalam Soekanto (1991) seperti berikut:
1. menghukum secara kasar dan tidak adil
2. menghalangi minat dan kegiatan anak
3. membentuk anak menurut pola yang baik
4. memberikan contoh yang buruk
5. mudah jengkel dan marah
6. sedikit rasa kasih saying terhadap anak
7. mudah marah bila anak membuat kesalahan tidak sengaja
8. kurang perhatian terhadap kegiatan anak
9. melarang anak bergaul dengan teman
10. bersikap jahat pada teman anak
11. menghukum dengan kasar
12. harapan terhadap anak tidak realistis
13. mengecam dan menyalahkan anak bila gagal
14. membuat suasana rumah tegang atau tidak menyenangkan
Berdasarkan beberapa karakter di atas maka orang tua dapat dikatakan sebagai orang yang memegang peranan penting dalam perkembangan seseorang anak. Juga tidak terlepas terhadap pandangan orang tua pada penyandang tunagrahita. Dengan demikian orang tua anak tunagrahita juga mempunyai peran yang sama dengan orang tua pada umumnya. Namun bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita umumnya mereka lebih membutuhkan perhatian yang lebih ketat terhadap perkembangan anak tunagrahita. Hal ini diasumsikan karena anak tunagrahita mempunyai perkembangan dan pertumbuhan yang jauh berbeda dengan anak normal. Hal ini jelas seperti definisi anak tunagrahita tunagrahita yang ditulis oleh beberapa pakar pendidikan luar biasa seperti berikut.
Difinisi American Association on Mental Retardation (AAMR) berlatar belakang profesi, di antaranya medis, hukum, dan pendidikan, yang mengatakan seperti berikut:
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)
Makna tersebut terdiri atas tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive behavior, and the developmental period. Kemampuan inteligensi, berdasarkan rata-rata tes IQ normal adalah 100, sedangkan untuk anak terbelakang mental menunjukan angka tes IQ di bawah 100. Definisi anak tunagrahita menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD) sebagai berikut.
…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)
In this definition “significantly subaverage general intellectual functioning” refers to an IQ of 70 or below on a standardized tes of intelligence such as the Stanford-Binet Intelligence Scales for Children or one of the Wecshler intelligence scales. (Terman & Merrill, 1973) or one of the Wechsler intelligence scales. This score represents performance that is two standard deviations below the mean, or average score, on these tests. The AAMD Manual states that an IQ of 70 should be viewed only as a guideline; in some school placement decicions it minght be extended upward to 70. (Linch, W. Eleanor. 1992:99)
Senada dengan definisi yang dikemukakan di atas Amin (1995:18) menyatakan seperti berikut.
Anak terbelakang mental atau anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata. Mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, yang sulit dan berbelit-belit. Mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus agar mereka dapat berkembang optimal.
Robert P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan bagi anak tunagrahita sebagai berikut: Mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia. Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental dan tunagrahita.
1. Tipe-tipe Orang Tua
Perbedaan tipe-tipe orang tua dapat dikelompokkan dalam suatu skala. Skala yang dimaksudkan adalah beberapa cara yang dilakukan oleh orang tua tentang bagaimana mereka mendorong pengambilan keputusan secara bebas terhadap bimbingan dan mendidik anaknya .
Beberapa cara yang mungkin dilakukan tersebut menurut Soerjono (1991) dapat dilakukan hal di bawah ini.
1. Orang tua yang melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengenalan anak terlalu berlebihan. Hal seperti ini akan menimbulkan sikap ketergantungan bagi diri anak tunagrahita yang berlebihan pula, sehingga rentang ketergantungan pada orang lain akan lebih lama pula dan dapat membuat kurangnya rasa percaya diri bagi anak.
2. Permisivitas orang tua
Orang tua akan memberikan kebahagiaan penuh pada anak untuk berbuat. Sikap permisivitas pada orang tua akan terlihat pada orang tua yang membiarkan anaknya untuk berbuat sesuka hati, dengan memberikan sedikit kekangan. Sikap demikian akan mampu menciptakan situasi rumah tangga yang “berpusat pada anak”. Jika sikap permisif ini tidak berlebihan, ia akan mampu mendorong anak untuk menjadi cerdik, mandiri dalam kebutuhan pribadi, penyesuaian sosial yang baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, daya kreativitas, dan kematangan sikap.
3. Memanjakan anak
Sikap memanjakan akan menimbulkan sikap egois, suka menuntut, dan memaksakan kehendak pada anak. Mereka menuntut perhatian dan pelayanan dari orang alain, perilaku yang menyebabkan penyesuaian sosial yang buruk di rumah dan luar rumah.
4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dan sikap permusuhan yang lebih terbuka. Disini orang tua membuat semua keputusan dan anak tunagrahita tidak boleh bertanya. Sikap demikian akan memunculkan rasa dendam, perasaan tak berdaya, frustrasi, perilaku gugup, dan sikap bermusuhan dengan orang lain, terutama bagi mereka yang lemah dan kecil. Inilah yang disebut dengan orang tua yang bersifat autokratis atau otoriter.
5. Penerimaan
Sikap penerimaan bagi orang tua ditandai dengan adanya perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan, dan memperhitungkan minat anak. Orang tua akan mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan. Anak yang diterima umumnya mampu bersosialisasi dengan baik, bersikap kooperatif, berlaku ramah, bergaul loyal, secara emosional stabil dan gembira.
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu orang tua, akan mampu bersikap jujur, sopan, dan berhati-hati. Tetapi anak ini cenderung pemalu, patuh, dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah, dan sangat sensitive. Pada anak yang didominasi sering akan berkembang rasa rendah diri dan perasaan menjadi korban keinginan orang tua yang tidak mampu dicapainya.
7. Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya akan membiarkan anak mendominasi mereka. Di sini orang tua akan membiarkan anak untuk mencari jalannya sendiri. Anak akan suka memerintah orang tua dan akan menunjukkan sedikit rasa tenggang rasa, penghargaan, atau loyalitas pada mereka. Anak akan belajar untuk menentang semua yang berwenang dan mencoba mendomninasi orang di luar lingkungan rumah.
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit tersendiri. Sikap yang seperti ini akan membuat mereka lebih menuntut dan mencintai anak yang difavoritkannya dari pada anak yang lain dalam keluarga tersebut. Anak yang disenangi cenderung memperlihatkan sisi baik pada orang tua mereka tetapi agresif dan dominan dalam hubungan dengan kakak atau adik mereka.
9. Ambisi Orang Tua
Hampir semua orang tua mempunyai ambisi terhadap anak mereka. Ambisi tersebut sering kali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi orang tua ini sering dipengaruhi oleh tidak tercapainya atau hasrat orang tua supaya anak mereka naik status sosialnya. Bila anak tidak dapat memenuhi ambisi orang tua, anak cenderung terlihat bersikap bermusuhan, tidak bertanggung jawab, dan berprestasi di bawah kemampuan. Keadaan ini akan lebih parah bila anak memiliki perasaan tidak mampu yang sering diwarnai perasaan dijadikan orang yang dikorbankan akibat kritik orang tua terhadap rendahnya prestasi mereka.
2. Orang Tua Otoriter
Cara-cara mengasuh anak dalam masyarakat merupakan awal kehidupan bermasyarakat. Pengasuhan secara otoritas ditentukan oleh sekelompok orang yang membentuk superioritas atas kelompok yang lain. Kelompok ini sekaligus menerima tanggung jawab untuk menetapkan pola-pola perilaku dalam kelompok orang yang dianggap lebih rendah tingkatnya. Pola ini dikenal sebagai pola atasan –bawahan yang dianut oleh sitem militer. Pelestarian hubungan dengan pola atasan bawahan ini ditetapkan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Biasanya pihak orang tua yang menggariskan keputusan-keputusan tentang perilaku anaknya.
Perilaku orang tua dalam hubungan seperti di atas, ia senantiasa berada dalam posisi sebagai arsitek. Mereka dengan teliti memutuskan bagaimana seharusnya tiap anak berbuat. Mereka memberikan hadiah atau hukuman agar perintahnya ditaati. Melalui pemberian hadiah orang tua akan mengkomunikasikan suatu pesan yang jelas kepada anaknya. Sedangkan pemberian hukuman menunjukkan ketiadaan sikap menghargai anak.
Kebiasaan ini mengakibatkan, tugas dan kewajiban orang tua menjadi tidak sulit. Para orang tua tinggal menentukan apa yang mereka ingin yang harus dikerjakan atau yang tidak boleh dilakukan anak. Ancaman hukuman diterapkan untuk melarang atau janji hadiah untuk mendorong agar anak mematuhi. Pendekatan seperti ini terbukti sangat berhasil. Sebagian orang tua melaporkan bahwa anak –anak mereka bersikap kooperatif. Hal ini menjadikan acuan kenyataan yang menunjukkan bahwa anak mereka persis seperti apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kerjasama di sini diartikan bahwa anak tunagrahita melakukan perbuatan sesuai dengan yang diperintahkan.
Selama masyarakat otokratis masih kokoh dalam artian di sini adalah orang tua, maka pendekatan mengasuh anak semacam ini sangatlah efektif. Generasi orang tua mempelajari teknik mengasuh anak berdasarkan contoh yang terdekat. Generasi di atas merupakan patron. Anak mencontoh orang tua, dan orang tua meniru ibu bapak mereka, begitu seterusnya berlangsung kelapis-lapis yang lebih tua.
Banyak tulisan berupa buku-buku, artikel, bahkah diseminarkan dalam kuliah di kampus tentang cara mendidik anak. Namun hal itu tidak mungkin dapat segera diterapkan, karena orang tua belajar secara alamiah tentang cara mengasuh. Sehingga keadaan demikian berada dalam status quo, sampai seluruh situasi yang mengepung orang tua berangsur mulai berubah.
Sekarang ini orang tua tidak lagi dihadapkan pada masalah kesulitan dalam membesarkan anak. Anak–anak sekarang ini dilahirkan di zaman yang demokratis, yang berlawanan sekali dengan sistim yang dianut oleh para orang tua. Pada kenyataannya menunjukkan penerapan prinsip mengasuh anak bagi kedua system ini, dan sulit dibandingkan secara paralel. Pemakaian metode dalam mendidikan anak bagi orang tua dapat berupa otoriter, permisif, ataupun yang demokratis semeuanya akan bergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan. Sebagiannya lagi akan menjalankan berdasarkan apa yang dialaminya, ataupun pengetahuan yang mempengaruhinya.
Semua sikap yang ditampilakan oleh orang tua merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari, orang tua menurut soerjono (1991) yang paling umum adalah sebagai berikut:
1. Konsep “anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai dengan romantisme, didasarkan atas gambaran anak ideal bagi orang tua itu. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua maka ia akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.
Kegagalan seperti yang dicemaskan di atas akan banyak dialami oleh anak, dengan demikan orang tua tidak akan terpenuhi keinginannya dan akan selalu merasa kecewa atas kemampuan anak.
2. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya sendiri. Dapat diarti sebagai dua kemungkinan pengalaman yakni pengalaman baik dan pengalaman buruk.
3. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, permisif, dan demokratis akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara mereka memperlakukan anak mereka sendiri.
Cara-cara terbaik yang mungkin cocok bagi anak yang inteligensinya normal jika akan diterapkan bagi anak tunagrahita maka ia tidaklah segera sesuai, sebab kemungkinan bila suatu cara dianggap baik untuk anak normal namun bagi anak tunagrahita belum tentu akan berlaku baik.
4. Orang tua yang menyukai peran orang tua. Mereka akan merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, mempunyai sikap yang mencerminkan penyesuaian yang baik ini terhadap anak mereka.
Orang tua yang bersikap otoriter mengutamakan kebutuhan mereka sendiri dahulu daripada kebutuhan anaknya. Mereka seringkali menganggap bahwa diri mereka tidak pernah berbuat kekeliruan. Maka sama sekali mereka tidak dapat berbuat salah atau dihalang-halangi. Karena itu orang tua yang otoriter cenderung untuk merintangi kesempatan-kesempatan anak untuk ikut serta dalam interaksi dengan orang lain. Orang tua otoriter akan membangun suatu lingkaran setan, dari rasa permusuhan, balasan di dalam hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang bersikap keras ini juga mempunyai lebih banyak konflik dengan anak mereka.
Jika dilihat dari segi pendidikan, maka orang tua yang bersikap otoriter ingin sekali agar anaknya dapat mencapai prestasi yang tinggi di sekolah. Mereka ingin sekali membantu perkembangan intelektual dan sosial anak mereka secara tulus dan iklas. Tetapi orang tua selalu mempunyai hambatan jika ternyata anaknya mengalami gangguan ketunagrahitaan. Keinginan yang kuat dari orang tua agar anaknya dapat menjadi berprestasi, akan tetapiorang tua tidak berbuat sesuatu yang efektif dalam mendorong anaknya belajar. Hal inilah merupakan ketimpangan yang menonjol jika orang tua terbatas pengetahuannya dan mempunyai konflik dalam memotivasi. Ternyata orang tua ini mencampuradukan antar keinginannya dengan keinginan anaknya dalam pendidikan.
Orang tua yang mencari kepuasan pribadi melalui anak sangat mengganggu pendidikan anak, dan banyak orang tua yang tidak merasa puas dan tentram dalam menerima atau memahami kemampuan anaknya sendiri. Paksaan-paklsaan agar anak menampilkan prestasi belajar yang ingin dicapai oleh orang tua mereka sangat mungkin mengaggu emosi anak. Terutama bagi anak tunagrahita dimana mereka jelas banyak mengalami hambatan karena faktor inteligensinya yang rendah. Dengan demikian sikap otoriter orang tua akan menjadi bumerang sendiri bagi orang tuanya jika ia terlalu banyak berharap terhadap kemampuan anak tunagrahita.