MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA

Salah satu agenda besar bangsa Indonesia di masa mendatang adalah bagaimana mengurangi ketergantungan pada
luar negeri. Masalahnya, ketergantungan yang memperluas globalisasi tersebut justru menimbulkan kepincangan dunia.
Pasar bebas yang diteriakkan dunia justru semakin kuat mencengkeram negara berkembang dan memperkuat negara
maju. Harga kebutuhan pokok juga mulai mencekik leher rakyat kecil. Globalisasi telah nyata menyebabkan kemiskinan
dunia ketiga merajalela dan terperangkap dalam utang, sementara negara maju semakin kaya dan tambah makmur.

Mengapa globalisasi digugat? Karena globalisasi adalah anak kandung kapitalisme. Jadi secara tidak langsung,
memprotes globalisasi juga memprotes kapitalisme dunia. Kapitalisme mendasarkan diri pada pasar bebas, tanpa ada
campur tangan pemerintah dalam segala urusannya. Kapitalisme hanya bisa berdiri tegak jika segala rintangan menuju
pasar bebas dihilangkan. Bagi kelompok antiglobalisasi, bebasnya rintangan telah memungkinkan negara maju
mengambil alih berbagai sumber daya, kekuatan dan kekayaan dunia ketiga. Perusahaan transnasional menancapkan
kuku-kukunya di negara maju. Masyarakat dunia ketiga diciptakan untuk menjadi pekerja, sementara kekayaan
perusahaan transnasional itu diangkut ke negara maju. Inilah yang menyebabkan kemiskinan.

Masalahnya sekarang adalah, apakah kapitalisme harus dibenci sedemikian kerasnya, sehingga tidak ada sisi positif dari
kapitalisme?

Kita harus membedakan terlebih dahulu antara kapitalisme (baca juga: mental kapitalis) itu sendiri dengan semangat
kapitalis. Kapitalisme intinya adalah paham yang menekankan pada akumulasi kapital. Dalam perkembangannya,
kapitalisme berorientasi pada penciptaan modal dan keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme (melihat sejarah
perkembangannya) setali tiga uang dengan liberalisme. Kapitalisme hanya akan bisa menemukan titik pertumbuhan yang
baik jika didukung oleh liberalisme.

Dalam perkembangannya, karena mementingkan masalah akumulasi kapital, kapitalisme hanya berorientasi pada tujuan
dan tidak mengindahkan cara mencapai tujuan. Akibatnya, kapitalime itu sendiri di satu sisi menyebabkan pertumbuhan
ekonomi mengalami kemajuan, modal terkumpul, tetapi di sisi lain tidak jarang praktik kapitalisme justru merugikan
khususnya mereka yang tidak mempunyai kapital.

Kelompok orang miskin adalah korban utama dari kapitalisme ini. Karena kurangnya sumber daya yang mereka miliki,
ditambah dengan tiadanya kekuatan kapital yang dimiliki, maka ia terpinggirkan atau sengaja dipinggirkan. Pada akhirnya,
mereka cenderung dieksploitasi untuk kepentingan kapitalisme.

Pembangunanisme yang tak lain adalah praktik kapitalisme cenderung menjadi bencana bagi kaum miskin. Karena kaum
miskin biasanya banyak hidup di negara dunia ketiga, maka kapitalisme sesungguhnya juga bencana bagi dunia ketiga.
Pembangunanisme menjadi praktik eksploitasi manusia atas manusia. Manusia sengaja menghisap manusia lain.
Dengan kata lain, negara kaya menghisap negara miskin. Anehnya, negara miskin tidak sadar bahwa mereka dihisap
sedemikian rupa oleh negara maju, dan dibuat tergantung pada negara maju.

Tetapi, sebenarnya, kapitalisme juga menyimpan semangat juang pantang mundur untuk kesejahteraan manusia. Dari
sejarahnya, semangat kapitalis menekankan adanya semangat progresif. Setidaknya ada dua sosiolog yang
dikonotasikan dengan semangat kapitalis. Yang pertama, adalah Max Weber, penulis The Protestant Ethic and The Spirit
of Capitalism. Dalam buku itu diceritakan semangat kapitalis tidak saja diperbolehkan oleh etika Protestan, tetapi justru
diwajibkan. Ia tak ragu-ragu lagi mengatakan, kemajuan Eropa seperti yang kita saksikan saat ini sangat dipengaruhi oleh
etika Protestan tadi.

Yang kedua adalah Peter L Berger. Ia menunjukkan bahwa semangat kapitalis memengaruhi dan merangsang timbulnya
sistem hukum dan kebudayaan yang rasional, sistem ekonomi yang efisien dan sistem politik yang demokratis.
Berdasarkan perspektif ini, semangat kapitalis memperoleh "pembenaran" sosial.

Weber mulanya mengamati doktrin teologis dari beberapa sekte Protestan, terutama ajaran Calvinis (yang dianggapnya
paling banyak mendukung tumbuhnya semangat kapitalis). Baginya, bahwa ajaran Calvinis mengenai takdir dan nasib
manusia "di hari nanti", merupakan doktrin yang memberi motivasi utama sikap hidup duniawi para penganutnya.

Hanya manusia yang sanggup menyesuaikan ajaran Tuhan akan menjadi manusia terpilih. Karena ajaran Tuhan menurut
Calvinis mengharuskan umatnya bekerja keras di dunia, maka kerja keras adalah jalan menuju manusia terpilih itu
sendiri. Kesuksesan hidup di dunia adalah tolok ukur bahwa ia adalah manusia terpilih. Menurut Calvinis kerja keras
adalah panggilan hidup, sementara menurut agama Katolik kerja keras diperlukan untuk kelangsungan hidup. Kerja keras
tak lain adalah ibadah yang dalam perkembangannya memunculkan semangat kapitalis.

Melihat pemaparan di atas, jadi semakin jelas bahwa memprotes kapitalisme secara serampangan tentu bukan pada
tempatnya, karena semangat kapitalis (yang sebenarnya juga terkandung dalam kapitalisme) justru diperlukan untuk
membangun peradaban dan kesejahteraan manusia. Sementara kapitalisme justru semakin memperburuk citra manusia.

Dari sini bisa dipahami, bahwa yang diprotes oleh para antiglobalisasi itu sebenarnya (dan harus diarahkan) bukan pada
semangat kapitalisnya, tetapi kapitalisme itu sendiri. Jadi, memprotes semangat kapitalis tentu salah sasaran.

Masalahnya, saat sekarang sulit dibedakan mana yang semangat kapitalis dan mana yang kapitalisme. Dalam
perkembangannya bisa jadi semangat kapitalis kemudian berubah menjadi mental kapitalis (kapitalisme). Orang yang
sudah makmur yang tidak punya semangat kapitalis seperti ajaran Calvinis, tentu akan mudah terseret dalam mental
kapitalis.

Kalau sudah begini, protes yang diajukan oleh pihak antiglobalisasi bisa dimengerti. Tetapi, sebagai bangsa yang juga
menjadi korban kapitalisme, kita tidak perlu gegabah menolak mentah-mentah kapitalisme. Siapa tahu di balik
kekejamannya masih ada semangat kapitalis yang tumbuh. Jadi, kenapa tidak segera memilih semangat kapitalis, dan
bukan kapitalisme?***